tarawangsa adalah keseian yang berkembang di daerah rancakalong,sumedang. kesenian ini bermula pada abad ke 18, ketika itu rancakalong merupakan daerah yang tidak memiliki benih dan bibit padi sehingga benih tersebit harus di ambil ke kerajaan mataram karena mataram merupakan kerajaan berbasis agraris atau pertanian dan relatif baik secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini. mataram merupakan kerajaan yang berlatar belakangkan islam, maka ketika tiba masa panen, masyarakat rancakalong mengapresisi hasil tersebut dengan mengadakan seni tarawangsa.
tarawangsa sendiri merupakan singkatan dari bahasa sunda “tatebeuhan rakyat wali anu salapan” yang bermaksud permainan music rakyat dari wali yang Sembilan, artinya kesenian tersebut memiliki dan beralaskan agama islam, hal ini juga depengaruhi hubungan masyarakat rancakalong(sumedang) dengan kerajaan mataram yang berbasis islam dan tempat tersebarnya para wali.
Tarawangsa sendirin lebih tua keberadaannya daripada rebab atau alat gesek yang lain. Naskah kuno Sewaka Darma dari awal abad ke-18 telah menyebut nama tarawangsa sebagai nama alat musik. Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-15—16, merupakan adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh para penyebar Islam dari tanah Arab dan India. Setelah kemunculan rebab, tarawangsa biasa pula disebut dengan nama rebab jangkung (rebab tinggi), karena ukuran tarawangsa umumnya lebih tinggi daripada rebab.
pak sukarma mengemukakn bahwa ketika masa penjajahan, kesenian ini pernah dilarang oleh orang-orang belanda karena takut kesenian tersebut akan menumbuhkan jiwa nasionalisme, maka dari itu sempat terjadi kucing-kucingan antara masyarakat(dalam hal ini tokoh agama dan tetua adat) dan kolonial belanda, sehingga masyarakat menyimpan alat seni tersebut ke hutan-hutan dan gunung-gungung, beberapa saat kemudian, usaha mempertahankan kesenian ini bermula ketika pak sukarma mengalami mati suri selama satu hari satu malam, dalam tidurnya tersebut ia mendapat pesan dari leluhur bahwa apabila ia ingin hidup seperti semula, maka ia harus membudidayakan apa-apa yang telah dilakukan oleh leluhur pada zaman dahulu dan salah satunya adalah kesenian tarawangsa. maka dari itu kesenian tarawangsa tetap hidup dan bisa dinikmati sampai sekarang.
kesenian tarawangsa terdiri dari dua alat musik, yaitu kecapi tujuh senar dan tarawangsa yang memiliki dua senar, kedua alat tersebut memiliki fungsi dan nilai. kecapi yang memiliki tujuh senar bermakna dan menggambarkan bahwa manusia hidup satu minggu selama tujuh hari tujuh malam, sedanggkan tarawangsa yang memiliki dua senar bermaksud siang dan malam, hitam dan putih, surga dan neraka, baik dan buruk yin dan yang atau yang lebih dikenal dengan konsep oposisi binary, artinya ketika manusia hidup dalam satu minggu yang terduru dari 7 hari tersebut tak lepas dari siang dan malam, baik dan buruk. nilai ini berfungsi sebagai pedoman dan penjaga atau menjadi kontrol sosial pada masyarakat rancakalong agar tidak melanggar larangan-larangan dari agama ataupun leluhur.
kecapi tujuh senar dan tarawangsa terbuat dari pohon jengkol, artinya bukan beratpi pohon atau bahan lain tidak bisa dipakai, hanya saja pohon jengkol memiliki suara yang lebih mendru dan nyaring, senarnya terbuat dari tali rem motor dan alat gesek tarawangsa terbeuat dari buntut atau ekor kuda.
selain dua alat seni dalam seni tarawangsa, ada juga beberapa penari yang berlenggak lenggok mengikuti indah dan syahdunya alunan music kecapi dan tarawangsa, penari tersebut terdiri dari lelaki dan perempuan, namun dalam pertunjukan, lelaki dan wanita tidak bisa digabung karena seni ini bersifat suci dan sacral, seni ini bukan halnya seperti jaipongan dan orgen tunggal, ada nilai, etika dan norma dalam melakunan pertunjukan seni tarawangsa. para penari terdiri dari dua golongan, penari asli dan saksi, saksi merupakan siapa saja yang menyaksikan tarawangsa dari arah yang sangat dekat, mereka juga bisa bergoyang dan berjoget bersama penari asli, penari asli merupakan penari yang tergabung dalam grup seni tarawangsa. pada penari asli, ada yang disebut paibuan, paibuan adalah posisi wanita yang merupakan sepuh tertinggi yang ada dalam grup tarawangsa, ia berfungsi sebagai penuntun dalam menari, pada laki-laki, posisi yang demikian disebut syaikhu yang memiliki fungsi sama dengan paibuan. proses regenerasi posisi paibuan dan syaikhu harus dilanjutkan dan diturunkan pada anggota keluarga sedarah, artinya posisi tersebut tidak bisa di pegang oleh orang sembarangan.
dalam pertunjukannya, penari mengenakan selendang 4 warna dan kadang di oper dan di berikan kepada penari lain, keempat warna selendang tersebut memiliki makna dan filosofi, hijau melambangkan kesuburan dan arah angin utara, putih melambangkan arah timur dan kebersihan hati, kuning melambangkan arah selatan dan ketegaran, dan yang terakhir merah melambangkan arah barat, ka’bah dan semangat. berkatan dengan sifat diatas sifatnya, maka penari akan menari sesuai dengan sifat selendang yang dikenakannya, percaya atau tidak, saya melihat dengan mata kepala sendiri bahwa ketika selendang merah tersebut di kalungkan ke penari, maka ia akan improve, tapi pernyataan ini tidak bisa di terima mentah-mentah karema menurut informan kami, yang menjadikan penari improve adalah kejiwaannya dalam mengikuti alunan musik.
dari beragam kesenian yang terdapat di rancakalong, kesemuanya merupakan kesenian yang memiliki nilai mistis, mengapa tidak, kita pasti mendapatkan sesajen pada pertunjukan seni apapun di rancakalong, tidak menutupi kemungkinan bahwa telah terjadi pergeseran nilai dan fungsi pada kesenian yang berkembang di rancakalong. kalau di ulur cerita sejarah, sebenarnya kesenian yang berkembang di rancakalong merupakan modus dan dan sarana bagi ulama untuk menebarkan agama islam. kita lihat saja seni terbang, seluruh lagunya merupakan cerita kelahiran nabi Muhammad sampai wafatnya nabi, contoh yang begitu mencolok adalah seni manabuh dog-dog, kesenian ini dijadikan eang bagus pangeli (ia adalah cikal bakal kesenian manabuh dog-dogsebagai modus untuk mengajak anak-anak agar mau sunatan, sedangkan ajaran untuk melakukan khinatan atau sunatan adalah ajaran agama islam. artinya eang bagus pangeli membuat alat seni manabuh dog-dog untuk menebarkan agama islam baik secara terang-terangan atau tertutup.
kalau boleh menebak-nebak dan membuat scenario, menyebarkan agama islam di tatar sunda sangat sulit karena sudah terpengaruh oleh ajaran hindu, dan konon katanya cikal bakal kerajaan trauma Negara merupakan blue print dari ajaran hindu, maka dari itu ulama zaman dahulu mengembangkan dan mengajarkan agama islam dengan menggunakan seni sebagai sarana. tapi pernyataan ini tidak boleh di telan mentah-mentah karna hanya hipotesis yang diambil secara bimbang dan tergesa-gesa. bisa jadi itu merupakan kreasi untuk memudahkannya untuk menebarkan agama islam.
sebenarnya masih banyak info yang belum saya tulis, namun bisa di komentari agar datanya bisa lebih lengkap.
tarawangsa sendiri merupakan singkatan dari bahasa sunda “tatebeuhan rakyat wali anu salapan” yang bermaksud permainan music rakyat dari wali yang Sembilan, artinya kesenian tersebut memiliki dan beralaskan agama islam, hal ini juga depengaruhi hubungan masyarakat rancakalong(sumedang) dengan kerajaan mataram yang berbasis islam dan tempat tersebarnya para wali.
Tarawangsa sendirin lebih tua keberadaannya daripada rebab atau alat gesek yang lain. Naskah kuno Sewaka Darma dari awal abad ke-18 telah menyebut nama tarawangsa sebagai nama alat musik. Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-15—16, merupakan adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh para penyebar Islam dari tanah Arab dan India. Setelah kemunculan rebab, tarawangsa biasa pula disebut dengan nama rebab jangkung (rebab tinggi), karena ukuran tarawangsa umumnya lebih tinggi daripada rebab.
pak sukarma mengemukakn bahwa ketika masa penjajahan, kesenian ini pernah dilarang oleh orang-orang belanda karena takut kesenian tersebut akan menumbuhkan jiwa nasionalisme, maka dari itu sempat terjadi kucing-kucingan antara masyarakat(dalam hal ini tokoh agama dan tetua adat) dan kolonial belanda, sehingga masyarakat menyimpan alat seni tersebut ke hutan-hutan dan gunung-gungung, beberapa saat kemudian, usaha mempertahankan kesenian ini bermula ketika pak sukarma mengalami mati suri selama satu hari satu malam, dalam tidurnya tersebut ia mendapat pesan dari leluhur bahwa apabila ia ingin hidup seperti semula, maka ia harus membudidayakan apa-apa yang telah dilakukan oleh leluhur pada zaman dahulu dan salah satunya adalah kesenian tarawangsa. maka dari itu kesenian tarawangsa tetap hidup dan bisa dinikmati sampai sekarang.
kesenian tarawangsa terdiri dari dua alat musik, yaitu kecapi tujuh senar dan tarawangsa yang memiliki dua senar, kedua alat tersebut memiliki fungsi dan nilai. kecapi yang memiliki tujuh senar bermakna dan menggambarkan bahwa manusia hidup satu minggu selama tujuh hari tujuh malam, sedanggkan tarawangsa yang memiliki dua senar bermaksud siang dan malam, hitam dan putih, surga dan neraka, baik dan buruk yin dan yang atau yang lebih dikenal dengan konsep oposisi binary, artinya ketika manusia hidup dalam satu minggu yang terduru dari 7 hari tersebut tak lepas dari siang dan malam, baik dan buruk. nilai ini berfungsi sebagai pedoman dan penjaga atau menjadi kontrol sosial pada masyarakat rancakalong agar tidak melanggar larangan-larangan dari agama ataupun leluhur.
kecapi tujuh senar dan tarawangsa terbuat dari pohon jengkol, artinya bukan beratpi pohon atau bahan lain tidak bisa dipakai, hanya saja pohon jengkol memiliki suara yang lebih mendru dan nyaring, senarnya terbuat dari tali rem motor dan alat gesek tarawangsa terbeuat dari buntut atau ekor kuda.
selain dua alat seni dalam seni tarawangsa, ada juga beberapa penari yang berlenggak lenggok mengikuti indah dan syahdunya alunan music kecapi dan tarawangsa, penari tersebut terdiri dari lelaki dan perempuan, namun dalam pertunjukan, lelaki dan wanita tidak bisa digabung karena seni ini bersifat suci dan sacral, seni ini bukan halnya seperti jaipongan dan orgen tunggal, ada nilai, etika dan norma dalam melakunan pertunjukan seni tarawangsa. para penari terdiri dari dua golongan, penari asli dan saksi, saksi merupakan siapa saja yang menyaksikan tarawangsa dari arah yang sangat dekat, mereka juga bisa bergoyang dan berjoget bersama penari asli, penari asli merupakan penari yang tergabung dalam grup seni tarawangsa. pada penari asli, ada yang disebut paibuan, paibuan adalah posisi wanita yang merupakan sepuh tertinggi yang ada dalam grup tarawangsa, ia berfungsi sebagai penuntun dalam menari, pada laki-laki, posisi yang demikian disebut syaikhu yang memiliki fungsi sama dengan paibuan. proses regenerasi posisi paibuan dan syaikhu harus dilanjutkan dan diturunkan pada anggota keluarga sedarah, artinya posisi tersebut tidak bisa di pegang oleh orang sembarangan.
dalam pertunjukannya, penari mengenakan selendang 4 warna dan kadang di oper dan di berikan kepada penari lain, keempat warna selendang tersebut memiliki makna dan filosofi, hijau melambangkan kesuburan dan arah angin utara, putih melambangkan arah timur dan kebersihan hati, kuning melambangkan arah selatan dan ketegaran, dan yang terakhir merah melambangkan arah barat, ka’bah dan semangat. berkatan dengan sifat diatas sifatnya, maka penari akan menari sesuai dengan sifat selendang yang dikenakannya, percaya atau tidak, saya melihat dengan mata kepala sendiri bahwa ketika selendang merah tersebut di kalungkan ke penari, maka ia akan improve, tapi pernyataan ini tidak bisa di terima mentah-mentah karema menurut informan kami, yang menjadikan penari improve adalah kejiwaannya dalam mengikuti alunan musik.
dari beragam kesenian yang terdapat di rancakalong, kesemuanya merupakan kesenian yang memiliki nilai mistis, mengapa tidak, kita pasti mendapatkan sesajen pada pertunjukan seni apapun di rancakalong, tidak menutupi kemungkinan bahwa telah terjadi pergeseran nilai dan fungsi pada kesenian yang berkembang di rancakalong. kalau di ulur cerita sejarah, sebenarnya kesenian yang berkembang di rancakalong merupakan modus dan dan sarana bagi ulama untuk menebarkan agama islam. kita lihat saja seni terbang, seluruh lagunya merupakan cerita kelahiran nabi Muhammad sampai wafatnya nabi, contoh yang begitu mencolok adalah seni manabuh dog-dog, kesenian ini dijadikan eang bagus pangeli (ia adalah cikal bakal kesenian manabuh dog-dogsebagai modus untuk mengajak anak-anak agar mau sunatan, sedangkan ajaran untuk melakukan khinatan atau sunatan adalah ajaran agama islam. artinya eang bagus pangeli membuat alat seni manabuh dog-dog untuk menebarkan agama islam baik secara terang-terangan atau tertutup.
kalau boleh menebak-nebak dan membuat scenario, menyebarkan agama islam di tatar sunda sangat sulit karena sudah terpengaruh oleh ajaran hindu, dan konon katanya cikal bakal kerajaan trauma Negara merupakan blue print dari ajaran hindu, maka dari itu ulama zaman dahulu mengembangkan dan mengajarkan agama islam dengan menggunakan seni sebagai sarana. tapi pernyataan ini tidak boleh di telan mentah-mentah karna hanya hipotesis yang diambil secara bimbang dan tergesa-gesa. bisa jadi itu merupakan kreasi untuk memudahkannya untuk menebarkan agama islam.
sebenarnya masih banyak info yang belum saya tulis, namun bisa di komentari agar datanya bisa lebih lengkap.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar